Sabtu, 02 Juli 2011

Penghitungan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (BAB II - OBJEK PAJAK)

Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010 dan mulai berlaku sejak tanggal 30 Desember 2010 (efektif mulai berlaku tanggal 1 Januari 2011)

Summary:
Pasal 2
DIVIDEN
Dividen yang bukan objek pajak dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh adalah pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari :

a. Kapitalisasi agio saham dari pemegang saham yang telah melakukan menyetor moda atau membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal.

Pengertian:
Nilai Nominal adalah nilai asli suatu surat berharga sebagaimana yang tertulis dalam lembaran surat saham, yang besarnya telah ditentukan dalam anggaran dasar perusahaan bersangkutan; umumnya nilai nominal saham di Bursa Efek Jakarta adalah Rp. 1.000,- namun saat ini perusahaan cenderung menerapkan nilai nominal sebesar Rp. 500,- / saham.

Modal disetor (paid up capital) adalah Modal ditempatkan yang telah disetorkan oleh para pemegang saham. Bilamana seluruh Modal ditempatkan telah disetor seluruhnya oleh para pemegang sahamnya, maka biasanya dinyatakan sebagai Modal ditempatkan dan disetor penuh (subcribed and paid in capital).
Untuk perusahaan yang akan Go-Public (menawarkan sahamnya di Bursa) Modal ditempatkan wajib untuk disetor seluruhnya.

Agio Saham adalah Selisih antara setoran pemegang saham dengan nilai nominalnya.
Contoh : PT. Bank Negara Indonesia menawarkan kepada masyarakat untuk memiliki saham perusahaan yang bernilai nominal RP. 500,- per saham dengan harga penawaran Rp. 850,- per saham. Hal ini berarti setelah penawaran umum PT. BNI ’46 akan memiliki Agio Saham sebesar Rp. 350,- per lembar saham. Dan jika saham baru yang dikeluarkan adalah 200 juta lembar, maka Agio sahamnya akan menjadi Rp. 70 miliar.

Saham bonus adalah aksi yang dilakukan oleh perusahaan dengan membagikan sejumlah saham kepada para pemegang saham sebagai bentuk apresiasi. Jumlah saham yang beredar menjadi meningkat. Harga saham akan menjadi turun akibat bertambahnya jumlah saham yang beredar.

b. Kapitalisasi selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) UU PPh
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur masalah ini terakhir adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap untuk Tujuan Perpajakan dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor:  PER-12/PJ/2009 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan dan administrasi penilaian kembali aktiva tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan.
Pasal 3
 Keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta dengan nilai sisa buku atas Pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, merupakan PENGHASILAN bagi perusahaan


Pasal 4
1. Agio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai pasar wajar dan nilai nominal saham --> bukan objek pajak.
PT A (belum go public) mempunyai modal disetor Rp 4.000.000.000,00 (4.000.000 lbr saham @Rp1000,00) yang telah disetor penuh. Melakukan ekspansi dengan penamabahan dana dari menjual saham baru sejumlah 500.000 lembar (nilai nominal @Rp 1000,00) dengan nilai jual Rp 750.000.000,00.
Selisih antara nilai jual dengan nilai nominal (Rp 750.000.000 - Rp 500.000.000) sebesar Rp 250.000.000,00 merupakan agio saham yang bukan merupakan objek pajak.
 
2. Disagio saham yang timbul dari selisih lebih antara nilai nominal saham dan nilai pasar saham --> bukan pengurang penghasilan bruto
begitupun sebaliknya jika nilai jualnya lebih rendah dari dari nilai nominalnya, maka disagio saham tersebut bukan merupakan pengurang penghasilan bruto (Azas deductable undeductable)


Pasal 5
1.  Bagian laba yang diterima / diperoleh oleh pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif termasuk keuntungan atas pelunsan kembali unit penyertaannya --> bukan objek pajak
Kontrak Investasi Kolektif (Collective Investment Contract) adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengolah fortofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif
Reksa Dana (Mutual Fund) adalah wahana investasi yang sifatnya kolektif (menghimpun dana dari banyak orang) untuk dibelikan saham, obligasi, atau instrumen keuangan lainnya. Kalau kita baca di UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, sebenarnya ada 2 bentuk Reksa Dana: perseroan dan kontrak investasi kolektif. Tapi cuma satu yang populer di masyarakat, yaitu yang berbentuk kontrak investasi kolektif. Kontrak investasi kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan.
  • Manajer Investasi (MI) = pengelola portofolio investasi kolektif
  • Bank Kustodian = pelaksana penitipan dana kolektif
  • Unit Penyertaan (UP) = unit yang diterbitkan reksa dana untuk menghimpun dana
Jadi, Reksa Dana (RD) menghimpun dana dengan menerbitkan Unit Penyertaan kepada masyarakat, lalu dana tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis efek yang diperdagangkan di pasar modal dan di pasar uang.

2. Ketentuan dalam point 1 berlaku juga bagi Subjek Pajak Luar Negeri
(lihat pada pembahasan tentang SUBJEK PAJAK)


Pasal 6
Pembagian laba secara langsung dan/atau tidak langsung yang berasal dari saldo laba termasuk laba berdasarkan proyeksi laba tahun berjalan merupakan objek pajak, kecuali :
Dividen atau bagian laba yangditerima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, daripenyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
a.  dividen berasal dari cadanganlaba yang ditahan; dan
b. bagi perseroan terbatas, BadanUsaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen,kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (duapuluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktifdi luar kepemilikan saham tersebut.

Berdasarkan ketentuan ini, dividen yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi pajak danditerima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,koperasi, dan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, daripenyertaannya pada badan usaha lainnya yang didirikan dan bertempat kedudukandi Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen),dan penerima dividen tersebut memperoleh penghasilan dari usaha riil di luarpenghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk Objek Pajak. Yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha MilikDaerah dalam ayat ini antara lain adalah perusahaan perseroan (Persero), bankpemerintah, bank pembangunan daerah, dan Pertamina.
Perluditegaskan bahwa dalam hal penerima dividen atau bagian laba adalah Wajib Pajakselain badan-badan tersebut di atas, seperti orang pribadi baik dalam negerimaupun luar negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan organisasi sejenisdan sebagainya, maka penghasilan berupa dividen atau bagian laba tersebut tetapmerupakan Objek Pajak.


Pasal 7
1. Surplus Bank Indonesia yang merupakan objek Pajak Penghasilan adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuian atau koreksi fiskal sesuai dengan UU PPh dengan memperhatikan karaketiristik Bank Indonesia.
Karakteristik Bank Indonesia terkait surplus Bank Indonesia antara lain selisih kurs, penyisihan aktiva, dan penyesuaian aktiva tetap

2. Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan pembayaran PPh atas surplus Bank Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan



Pasal 8
1. Hubungan diantara pihak-pihak yang bersangkutan sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain secara langsung atau tidak langsung berkenaan dengan: a. Usaha
                                           b. Pekerjaan atau
                                           c. Kepemilikan atau Penguasaan
Penjelasan:
Pihak-pihak yang bersangkutan adalah Wajib Pajak Pemberi dan Wajib Pajak Penerima bantuan atau sumbangan, termasuk zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, dan atau harta hibahan.

uraian:
Agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen (Protestan dan Katolik), Hindu, Budha dan Kong Hu Cu

2. Hubungan antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan usaha dapat terjadi apabila terjadi transaksi yang bersifat rutin antara kedua belah pihak.
Penjelasan:
Transaksi rutin dapat berupa penjualan, pembelian, atau pemberian imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.

3. Hubungan antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan pekerjaan terjadi apabila terdapat hubungan berupa pekerjaan, pemberian jasa, atau pelaksanaan kegiatan secara langsung atau tidak langsung.

Penjelasan:
- Pekerjaan Langsung:
Tuan A = Direktur PT X
Tuan C = Pegawai PT X
Antara PT X dengan Tuan A dan Tuan C terdapat hubungan Pekerjaan langsung.
Jika PT X memberikan bantuan/sumbangan kepada Tuan A dan/atau Tuan C (atau sebaliknya) ==> Penghasilan yang merupakan Objek PPh bagi yang menerimanya.

- Pekerjaan tidak langsung
Tuan B merupakan petugas dinas luar asuransi dari perusahaan asuransi PT X. Meskipun Tuan B bukan pegawai PT X, tetapi terdapat hubungan pekerjaan tidak langsung, maka bantuan/sumbangan yang diterima merupakan objek PPh

4.  Hubungan antara pihak-pihak yang bersangkutan berkenaan dengan kepemilikan atau penguasaan  terjadi apabila terdapat:
a. Penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir

Penjelasan
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.

Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.


Selanjutnya, apabila PT B mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.

Hubungan kepemilikan seperti di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.

b. Hubungan penguasaan dimana Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung

Penjelasan:
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

Contoh:
1). Penguasaan manajemen secara langsung:
Tuan A dan Tuan B, adalah direktur PT X, sedangkan tuan C adalah komisaris PT X. Selain itu tuan C juga menjadi direktur di PT Y, dan Tuan B sebagai komisaris di PT Y.
Tuan B Junior adalah direktur PT AA, sedangkan Tuan E sebagai komisaris PT AA. Tuan B Junior adalah anak dari tuan B yang menjadi direktur PT X dan komisaris PT Y.

Dalam contoh di atas, antara PT X dan PT Y mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena tuan B selain bekerja sebagai direktur PT X juga bekerja sebagai komisaris PT Y. Di samping itu, tuan C selain bekerja sebagai komisaris di PT X juga bekerja sebagai direktur di PT Y. sehingga jika PT X menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan/sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.

Demikian pula antara PT Y dan PT AA mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara langsung, karena terdapat hubungan keluarga keluarga antara tuan B (ayah) yang bekerja sebagai komisaris di PT Y dengan tuan B Junior (anak) yang bekerja sebagai direktur di PT AA.

Jika PT AA menerima bantuan atau sumbangan dari PT Y (atau sebaliknya) maka bantuan atau sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.

Jika tuan B Jr (anak) menerima bantuan atau sumbangan atau harta hibahan dari Tuan B (ayah)maka bantuan/sumbangan/hibahan tersebut dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan (Pasal 4 (3) UU PPh), karena yang mempunyai hubungan penguasaan manajemen adalah antara PT Y dengan PT AA, bukan antara tuan B (ayah) dan tuan B Jr (Anak).

Dengan demikian, hubungan penguasaan manajemen hanya terjadi antara entitas yang pengurusnya sama atau memiliki hubungan keluarga. Sedangkan antara pengurus dalam entitas tersebut tidak memiliki hubungan penguasaan.

2). Penguasaan manajemen secara tidak langsung

Tuan O adalah direktur PT AB, dan tuan P sebagai komisaris PT AB.
Tuan O dan tuan P nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan PT X, misalnya berwenang menadatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun tuan O dan/atau tuan P tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan PT X.
Dalam contoh di atas, antara PT AB dan PT X mempunyai hubungan penguasaan manajemen secara tidak langsung. Jika PT X menerima bantuan/sumbangan dari PT AB (atau sebaliknya) maka bantuan/sumbangan tersebut merupakan objek pajak bagi pihak yang menerima.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar