Sabtu, 16 Juli 2016

SISTEM PAJAK INDONESIA



SISTEM PAJAK INDONESIA


I.                    PENDAHULUAN

Asas Pemungutan Pajak menurut Adam Smith
1. Equality
Pemungutan pajak harus bersifat final, adil, dan merata,  ability to pay dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap wajib pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingan dan manfaatnya.

2. Certainly
Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu pembayaran.

3. Convenience
Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya disesuaikan dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, misalnya pada saat  memperoleh penghasilan atau disebut pay as you earn.

4. Economy
Secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimal mungkin, demikian pula beban yang dipikul wajib pajak.

5. Asas Keadilan
Asas keadilan dalam prinsip perundang-undangan pajak maupun dalam pelaksanaanya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif.


Asas Pemungutan Pajak menurut Falsafah Hukum, Yuridis, dan Ekonomis
1. Asas menurut Falsafah Hukum
Hukum pajak harus berdasarkan pada keadilan. Selanjutnya keadilan inilah sebagai asas pemungutan pajak.

2. Asas Yuridis
Untuk menyatakan suatu keadilan, hukum pajak harus memberikan jaminan hukum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan pajak di Indonesia adalah UUD 1945

3. Asas Ekonomis

Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran ekonomi.


II.                  SISTEM PAJAK

Menyikapi peningkatan target penerimaan pajak yang sangat tinggi, mau tidak mau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus melakukan upaya luar biasa guna menggali setiap potensi pajak dalam perekonomian, baik itu melalui kebijakan pajak (tax policy) maupun administrasi pajak (tax administration). Aspek kebijakan pajak mencakup pemahaman tentang siapa yang dipajaki, apa yang dipajaki, dan berapa besar pajaknya, sedangkan konsep administrasi pajak adalah pemahaman tentang bagaimana cara pemajakannya.
Sesuai dengan Pasal 23A Undang Undang Dasar tahun 1945, kedua aspek perpajakan tersebut diatur melalui beberapa Undang-Undang, antara lain: Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan, dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Secara konseptual, penggalian potensi pajak dalam upaya mendorong penerimaan dapat ditempuh dengan meninjau kembali siapa dan apa yang dipajaki, berapa yang dipajaki dan bagaimana cara memajakinya.
Mengacu kepada Undang-Undang, DJP adalah entitas yang mendapatkan mandat untuk mengelola administrasi perpajakan secara nasional (saat ini pengelolaan tax policy berada Badan Kebijakan Fiskal).
Menurut IBFD Handbook on Tax Administration, pengelolaan administrasi perpajakan mencakup penentuan visi, penentuan rencana strategis dan tujuan operasional, manajemen resiko, manajemen operasional dan manajemen kinerja, serta manajemen terhadap proses-proses lainnya yang mendukung sebuah sistem pajak beroperasi dengan efektif dan efisien. Bagi DJP, peranan sebagai sebuah tax administrator tersebut dirumuskan dalam tiga fungsi utama DJP yaitu:
  1. fungsi Pelayanan yang mencakup mencakup bagaimana DJP menyediakan layanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah bagi Wajib Pajak (WP);
  2. fungsi Pengawasan yang memastikan bahwa semua WP memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang perpajakan yang berlaku;
  3. fungsi Penegakan Hukum yang memastikan bahwa ketentuan pajak diterapkan dengan adil bagi semua WP, sanksi diterapkan untuk pelanggar, dan sebuah sistem deteksi ketidakpatuhan berjalan. Ketiga fungsi tersebut tidak berdiri sendiri dan harus didukung fungsi lainnya dalam operasional DJP, seperti fungsi pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia, teknologi informasi dan komunikasi, hubungan masyarakat, serta fungsi lainnya


Unsur penting dalam sistem pemungutan pajak adalah:
1.      Unsur kebijakan pajak (tax policy)
2.      Administrasi Perpajakan (Tax Administration)


A.      TAX POLICY (REGULATION)
Berdasarkan Pasal 23A UUD 1945 : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Sehingga segala tindakan yang menempatkan  beban kepada rakyat harus ditetapkan dengan UU melalui persetujuan DPR.
Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Publik, mempunyai ruang lingkup yang luas dan memuat unsur Hukum Pidana dan Peradilan seperti yang termuat dalam UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, memuat unsur Hukum Perdata seperti penghasilan, kekayaan, perjanjian penyerahan hak, dan lain-lain.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan UU tentang pajak, yaitu:
  • Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya
  • Jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum
  • Jaminan hukum akan terjaganya kerasahiaan bagi para wajib pajak



B.      ADMINISTRASI PERPAJAKAN

1.      Pengertian Administrasi Perpajakan
Untuk dapat mengimplementasikan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan pajak maka harus dilakukan melalui administrasi pajak. Gunadi (2005) memaparkan pengertian tentang administrasi perpajakan sebagai berikut: “Semua kegiatan administrasi terlihat dalam kegiatan catat-mencatat, namun demikian administrasi pajak adalah bukan kegiatan catat-mencatat biasa akan tetapi catat-mencatat sebagaimana yang dipandu dan yang dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Jadi pengertian administrasi pajak adalah bagian dari pelaksanaan hukum formal di bidang perpajakan dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan, pengawasan dan pembinaan, karena administrasi perpajakan melalui pelaksanaan tata usaha perpajakan dan sarananya timbul bukan karena hasil imaginasi ataupun rekaan dari para penyelenggara, akan tetapi disusun sebagai kehendak ketentuan formal perpajakan untuk melaksanakan misi menjadikan ketentuan material perpajakan suatu kenyataan yang baik dan benar. Sebagai salah satu instrumen pelaksanaan di bidang perpajakan dalam rangka menjalankan fungsi pelayanan masyarakat, pengawasan masyarakat dalam rangka pelaksanaan kewajiban perpajakan, dan pembinaan dari pelaksanaan pengawasan dimaksud.”
Selanjutnya Gunadi (2005) menambahkan bahwa administrasi pajak bukan hanya merupakan kepentingan dari negara sebagai pemungut pajak, akan tetapi juga merupakan kepentingan dan hak dari para Wajib Pajak agar segala pelaksanaan kewajiban dan hak-hak perpajakannya ditatausahakan dengan baik dan benar. Oleh karena itu penyimpangan tata usaha perpajakan dari ketentuan peraturan perundang-undangan akan menimbulkan persengketaan dengan masyarakat dan khususnya masyarakat Wajib Pajak.

2.    Kedudukan Administrasi Perpajakan dalam Mekanisme Hukum Pajak
Dalam sistem perpajakan yang menganut self assessmen, ketentuan formal sebagai hukum acara perpajakan menduduki posisi yang sangat penting karena sistem hukum meletakkan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai pelaksanaan kewajiban kenegaraan kepada Wajib Pajak. Oleh karena itu, pelaksanaan ketentuan formal oleh aparatur pajak dapat pula dikatakan bahwa aparatur tersebut sedang beracara dengan Wajib Pajak.
Fungsi Wajib Pajak adalah sebagai pelaksana kegiatan kewajiban perpajakan atau rowing. Sedangkan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai ketentuan formal perpajakan dalam pelaksanaan hukum dengan sendirinya tidak dapat dilakukan begitu saja, namun memerlukan suatu alat atau instrumen pelaksanaan berupa Tata Usaha Perpajakan (sebagai pelaksanaan hukum acara dibidang administrasi perpajakan), pemeriksaan pajak (sebagai pelaksanaan hukum acara dibidang pemeriksaan pajak), penagihan pajak (yaitu hukum acara penagihan pajak) dan Peradilan Pajak (yaitu hukum acara peradilan pajak).

3.    Sasaran Administrasi Perpajakan
Sasaran administrasi perpajakan adalah administrasi perpajakan harus mampu merealisisasikan potensi pajak menjadi penerimaan pajak secara maksimal.
Parameter efektifitas administrasi perpajakan selanjutnya diukur dari seberapa optimal sasaran tersebut dapat dicapai. Dalam rangka mencapai sasaran tersebut, Kantor Pelayanan Pajak melakukan kegiatan berupa:
a.      Ekstensifikasi WP,
b.      Kegiatan intensifikasi pajak,
c.       law enforcement kepada Wajib Pajak yang melakukan pelanggaran, serta mewujudkan kepatuhan Wajib Pajak.
Oleh karena itu, indikator utama efektifitas administrasi perpajakan yaitu merealisasikan target penerimaan pajak, menjaring Wajib Pajak baru melalui kegiatan ekstensifikasi pajak, intensifikasi pemungutan pajak, dan  kinerja dalam menciptakan kepatuhan Wajib Pajak.

4.    Administrasi Perpajakan yang Efektif
Administrasi perpajakan ialah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak. Bagi Rapina dkk (2011), administrasi perpajakan dalam arti sempit merupakan penatausahaan dan pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-kewajiban pembayar pajak, baik penatausahaan dan pelayanan yang dilakukan di Kantor Pajak maupun di tempat wajib pajak.
Dalam arti luas, administrasi perpajakan dipandang sebagai: fungsi, sistem, dan lembaga. Sebagai fungsi, administrasi perpajakan meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian perpajakan. Sebagai suatu sistem, administrasi perpajakan merupakan seperangkat unsur (subsistem) yaitu peraturan perundangan, sarana dan prasarana, dan Wajib Pajak yang saling berkaitan yang secara bersama-sama menjalankan fungsi dan tugasnya untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai lembaga, administrasi perpajakan merupakan institusi yang mengelola sistem dan melaksanakan proses pemajakan.
Administrasi perpajakan merupakan tahapan-tahapan atau langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya memungut potensi pajak yang ada menjadi penerimaan riil, terdiri dari tahapan aktivitas menentukan wajib pajak, menetapkan nilai kena pajak dan membukukan penerimaan. Safri Nurmantu (2003) menyatakan bahwa administrasi perpajakan sebagai prosedur meliputi tahap-tahap pendaftaran Wajib Pajak (tax payer), penetapan dan penagihan.
Administrasi memegang peranan penting bagi keberlangsungan suatu sistem perpajakan. Pada kondisi terkini, dan pengalaman di berbagai Negara berkembang, kebijakan perpajakan (tax policy) yang dianggap baik (adil dan efisien) dapat saja kurang sukses menghasilkan penerimaan atau mencapai sasaran lainnya karena administrasi perpajakan tidak mampu melaksanakannya.

Menurut Carlos A. Silvani (1992) seperti dikutip Gunadi, administrasi pajak dikatakan efektif bila mampu mengatasi masalah-masalah:
1) Wajib Pajak yang tidak terdaftar (unregistered taxpayers). 
Artinya sejauh mana administrasi pajak mampu mendeteksi dan mengambil tindakan terhadap anggota masyarakat yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak walau seharusnya yang bersangkutan sudah memenuhi ketentuan untuk menjadi Wajib Pajak. Penambahan jumlah Wajib Pajak secara signifikan akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak. Penerapan sanksi yang tegas perlu diberikan terhadap mereka yang belum mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak padahal sebenarnya potensial untuk itu.

2) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT).
Menyikapi Wajib Pajak yang sudah terdaftar tetapi tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), atau disebut juga stop filing taxpayers, misalnya dengan melakukan pemeriksaan pajak untuk mengetahui sebab-sebab tidak disampaikannya Surat Pemberitahuan (SPT) tersebut. Kendala yang mungkin dihadapi adalah terbatasnya jumlah tenaga pemeriksa.

3) Penyelundup pajak (tax evaders)
Penyelundup pajak (tax evaders) yaitu Wajib Pajak yang melaporkan pajak lebih kecil dari yang seharusnya menurut ketentuan perundang-undangan. Keberhasilan sistem self assessment yang memberi kepercayaan sepenuhnya kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, sangat tergantung dari kejujuran Wajib Pajak. Tidak mudah untuk mengetahui apakah Wajib Pajak melakukan penyelundupan pajak atau tidak. Dukungan adanya bank data tentang Wajib Pajak dan seluruh aktivitas usahanya sangat diperlukan.

4) Penunggak pajak (delinquent tax pavers).
Dari tahun ke tahun tunggakan pajak jumlahnya semakin besar. Upaya pencairan tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan penagihan secara intensif.


Toshiyuki (2001) seperti dikutip Gunadi menyatakan bahwa untuk mencapai hal tersebut, disyaratkan beberapa kondisi administrasi perpajakan seperti berikut:
  • Pertama, administrasi pajak harus dapat mengamankan penerimaan negara. 
  • Kedua, harus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan transparan. 
  • Ketiga, dapat merealisasikan perpajakan yang sah dan adil sesuai ketentuan dan menghilangkan kesewenang-wenangan, arogansi, dan perilaku yang dipengaruhi kepentingan pribadi. 
  • Keempat, dapat mencegah dan memberikan sanksi serta hukuman yang adil atas ketidakjujuran dan pelanggaran serta penyimpangan. 
  • Kelima, mampu menyelenggarakan sistem perpajakan yang efisien dan efektif. 
  • Keenam, meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. 
  • Ketujuh, memberikan dukungan terhadap pertumbuhan dan pembangunan usaha yang sehat masyarakat pembayar pajak.
  • Kedelapan, dapat memberikan kontribusi atas pertumbuhan demokrasi masyarakat

5.  Administrasi perpajakan harus mampu menyelenggarakan sistem Perpajakan yang efisien dan efektif. Administrasi perpajakan umumnya disebut efektif apabila dapat meminimalkan penghindaran, penyelundupan, pengemplangan dan penyalahgunaan instrumen perpajakan untuk membobol uang negara. Selanjutnya, administrasi dapat dikatakan efisien apabila pencapaian penerimaan dilakukan dengan pengorbanan yang optimal.
6.  Administrasi perpajakan harus dapat meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Sesuai dengan sistem self assesment, kepatuhan ini meliputi kemauan dan kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, menyampaikan SPT dengan perhitungan yang lengkap dan benar, dan membayar pajak berdasar jumlah yang sebenamya dan tepat waktu;
7.  Administrasi perpajakan harus dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan dan pembangunan usaha yang sehat masyarakat pembayar pajak. Hal ini dapat dilaksanakan misalnya dengan mengeliminasi unnecessary burden kepatuhan dan administrasi perpajakan atas dunia bisnis dan investasi.
Ukuran yang dipakai untuk mengukur efektifitas administrasi perpajakan adalah bahwa suatu administrasi perpajakan mampu untuk meningkatkan kepatuhan pajak sukarela, menerapkan prinsip-prinsip self assessment, menyediakan informasi kepada Wajib Pajak, mempunyai kecepatan dalam menemukan masalah-masalah yang berhubungan dengan SPT dan pembayaran, meningkatkan kontrol dan supervisi, memberikan sanksi perpajakan yang tepat. Sedangkan instrumen operasional yang dapat digunakan untuk mengukur efektivias administrasi antara lain, berupa intensitas ekstensifikasi pajak, intensitas intensifikasi pajak dan terwujudnya kepatuhan Wajib Pajak. Demikian juga penelitian Noch dalam Rapina (2011), menyimpulkan bahwa penerapan ekstensifikasi, penerapan intensifikasi serta kepatuhan Wajib Pajak berpengaruh terhadap tingkat penerimaan pajak penghasilan orang pribadi. Berdasarkan kesimpulan dalam penelitian tersebut, efektifitas administrasi pajak juga dapat diukur dari penerapan ekstensifikasi, penerapan intensifikasi, penegakan hukum pajak (law enforcement), kepatuhan Wajib Pajak serta aspek perpajakan lainnya.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa ukuran efektifitas administrasi perpajakan tidak hanya diukur dari optimalisasi penerimaan pajak. Demikian juga pengukuran penerimaan pajak yang optimal sulit untuk dilakukan pengukuran, sehingga pada umumnya dilakukan dengan mengukur apakah realisasi penerimaan sesuai dengan target yang direncanakan. Oleh karena itu, terealisasinya target penerimaan pajak yang merupakan sasaran utama, bukan satu-satunya sasaran administrasi perpajakan.

III.                EFEKTIVITAS PEMUNGUTAN PAJAK
Efektivitas Pemungutan Pajak - Dalam rangka mencapai penerimaan dari sektor pajak yang optimal, menurut Devas (1989:143), pajak itu harus mencapai atau memberikan, “Hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency)”.
Menurut Ikhsan dan Salomo (2002 :120) : Pada dasarmya efektivitas digunakan untuk menunjukan suatu keberhasilan suatu usaha atau kegiatan dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas pemungutan pajak dengan demikian merupakan gambaran dari kemampuan organisasi pemungut pajak untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, yakni jumlah penerimaan pajak yang telah direncanakan.
Dengan demikian efektivitas pajak (Tax Effectiveness) merupakan ukuran yang dapat dipergunakan untuk menilai administrasi perpajakan daerah secara keseluruhan.
Secara oprasional efektivitas pajak dapat dihitung dengan mengunakan rumus Tax perfomance index (TPI), yakni hasil bagi antara realisasi penerimaan pajak dengan target penerimaan pajak. Semakin besarnya angka TPI menunjukkan semakin efektifnya pemungutan pajak dikaitkan dengan sasaran atau target yang akan diperoleh.


IV.               FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENERIMAAN PAJAK

1.       Peraturan perundang-undangan
Peraturan pajak yang baik adalah ketentuan yang jelas tidak multitafsir, mudah dipahami, dan sederhana dilaksanakan
2.       Jumlah Wajib Pajak dan tingkat kepatuhan
3.       Cakupan Objek Pajak
4.       Kelembagaan administrasi perpajakan
Transformasi kelembagaan administrasi perpajakan (DJP) terus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan pajak, sebagai berikut:
a.       Ekstensifikasi, meliputi: sinkronisasi NPWP dengan e-KTP untuk mendukung kegiatan ekstensifikasi, penyederhanaan persyaratan pajak bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) demi mendorong pendaftaran UKM, serta kewajiban penggunaan NPWP dalam bertransaksi bagi UKM;
  1. Pelaporan dan pemrosesan SPT, meliputi: digitalisasi pelaporan dan pengolahan semua jenis SPT, implementasi SPT Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara elektronik akan diwajibkan, peningkatan Data Processing Center (DPC) dan pengiriman semua SPT format kertas ke DPC, serta SPT elektronik (e –filing) disediakan untuk semua jenis pajak;
  2. Konsultasi dan pemeriksaan wajib pajak, meliputi: pemisahan peran Account Representative menjadi peran Account Representative pelayanan dan Account Representative pengawasan;
  3. Estimasi potensi, meliputi: penyusunan sebuah model risiko kepatuhan terpusat akan menggantikan pendekatan estimasi potensi bottom-up saat ini;
  4. Model risiko kepatuhan, meliputi: penyusunan prosedur penilaian risiko baru akan dilaksanakan untuk menilai tingkat risiko wajib pajak, dan penyesuaian proses bisnis dengan selayaknya (seleksi pemeriksaan, prosedur penagihan, dan penawaran layanan masa depan). Quality assurance akan diperkuat guna memvalidasi temuan dari model risiko kepatuhan terpusat yang digunakan;
  5. Pemeriksaan, penagihan dan penyidikan, meliputi: penerapan selective audit untuk meningkatkan audit coverage ratio dan mengurangi jangka waktu pemeriksaan. Proses akan disederhanakan melalui pemeriksaan standar dan manual penagihan, serta tools pendukung (Compliance Risk Management);
  6. Layanan, meliputi: perluasan channel layanan baru bagi WP melalui penambahan format KPP untuk meningkatkan jangkauan, perluasan layanan, penambahan saluran non-fisik (seperti website dan call center), termasuk pembentukan kapasitas call center outbound.

5.       Lingungan politik, hukum, ekonomi, social budaya, nasional dan regional



V.                 MANAJEMEN PENGELOLAN PEMUNGUTAN PAJAK

Untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pencapaian tujuan dalam pemungutan pajak diperlukan suatu proses/seni/kerangka kerja. POAC+E (planning, Organizing, Actuating, Controlling plus Empathy)  merupakan langkah dalam manajemen yang efektif.

a.      Planning à Planning meliputi pengaturan tujuan dan mencari cara bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut. Planning telah dipertimbangkan sebagai fungsi utama manajemen dan meliputi segala sesuatu yang manajer kerjakan. Di dalam planning, manajer memperhatikan masa depan, mengatakan “Ini adalah apa yang ingin kita capai dan bagaimana kita akan melakukannya”.
b.      Organizing à proses dalam memastikan kebutuhan manusia dan fisik setiap sumber daya tersedia untuk menjalankan rencana dan mencapai tujuan yang berhubungan dengan organisasi. Organizing juga meliputi penugasan setiap aktifitas, membagi pekerjaan ke dalam setiap tugas yang spesifik, dan menentukan siapa yang memiliki hak untuk mengerjakan beberapa tugas
c.       Actuating à Actuating adalah peran pimpinan untuk mengarahkan pekerja yang sesuai dengan tujuan organisasi. Actuating adalah implementasi rencana, berbeda dari planning dan organizing. Actuating membuat urutan rencana menjadi tindakan dalam dunia organisasi. Sehingga tanpa tindakan nyata, rencana akan menjadi imajinasi atau impian yang tidak pernah menjadi kenyataan.
d.      Controlling à memastikan bahwa kinerja sesuai dengan rencana. Hal ini membandingkan antara kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan. Jika terjadi perbedaan yang signifikan antara kinerja aktual dan yang diharapkan, manajer harus mengambil tindakan yang sifatnya mengoreksi. Misalnya meningkatkan periklanan untuk meningkatkan penjualan.
Hal yang tidak kalah penting dan mungkin yang menentukan keberhasilan 4 proses di atas adalah adanya Empathy.
Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk menolong sesama, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain.
Empati meliputi perasaan memiliki, saling mendukung, saling mengingatkan, saling menguatkan.


By: Yana Setiana untuk Bapak Kami


Tidak ada komentar:

Posting Komentar